Tuesday, 11 December 2012

Sama Nasib Satu Perjuangan


Jadi kali ini post-ku adalah sebuah cerpen yang aslinya dibuat untuk tugas Bahasa Indonesia, cerita ini berdasarkan pengalaman asli bapakku yang aslinya adalah seorang anak perantau dari tanah Orang Bugis, Ujung Pandang.

Cerita ini juga buat bapak yang aku jamin pasti ngecek blog-ku dimana pun bapak berada dan kadang selalu minta untuk ditulisin sebuah biografi pendek padahal akunya saja masih penulis amatiran yang masih berada di level ingusan kalau urusan menulis.

Aku minta maaf kalau ternyata ada beberapa penulisan yang error atau memang aku yang typo. <--- kutukan karena sering ngehujat guru Bahasa Indonesia #plak

------------------------------------------------------


Sama Nasib Satu Perjuangan

Oxford sekarang dipenuhi dengan berbagai macam murid-murid internasional yang membuat kota yang terkenal akan universitasnya yang prestigius ini menjadi lebih berwarna dari biasanya.

Aku duduk di sebuah bangku taman, berhadapan dengan monumen PEACE, sebuah batu yang dituliskan 4 bahasa, Arab, Tamil, Hebrew, dan Inggris. Kira-kira bunyinya seperti ini:

PEACE

TO HONOUR
THOSE WHO
SEEK ANOTHER
PATH IN PLACE
OF VIOLENCE
AND WAR


Di samping monumen tersebut juga terdapat sebuah gereja, sebagai seorang asing terkadang aku selalu penasaran ingin merasakan secara langsung tempat beribadah umat nasrani tersebut, pasti euforianya berbeda sangat dibandingkan dengan hanya melihatnya lewat televisi atau Internet.

Tiba-tiba hujan rintik-rintik turun, aku tidak bergerak dari tempatku dan hanya menghiraukannya, toh seperti ini lah cuaca labil Inggris, 10 menit lagi pasti matahari akan cerah kembali. Hari-hari di Inggris tidak akan lengkap tanpa hujan.

Nuria, seorang Italia yang menjadi roommate-ku untuk kira-kira setahun ini awalnya mengajakku untuk pergi dengannya ke kafe, sayang aku menolaknya untuk alasan aku memilki rencana lain. Sekarang di satu tanganku terdapat 5 keping perangko internasional yang aku beli di Covered Market dan sebuah kartu pos di tanganku yang satu lagi.

Hujan menghalangiku untuk menulis sesuatu di atas kartu pos ini, untung kartonnya tidak terlalu basah.

Jujur, aku tak punya alat yang istilahnya dapat memenuhi kemauanku untuk menghubungi orangtua di Indonesia, sejak kecil orangtuaku selalu mengajarkanku dengan cara hidup sederhana. Tak ada iPhone, tak ada iPad, hanya secarik kartu pos, perangko, dan pulpen dapat mengatasi homesick.

Perkiraanku benar, 10 menit telah berlalu dan matahari kembali bersinar, aku pun menggunakan kesempatan ini untuk menuliskan semua perasaanku untuk orangtua, adik, dan keluarga lainnya di Indonesia.

Mereka harus tahu kalau aku sudah banyak merasakan bagaimana rasanya merantau di negeri orang.

Dear bapak & mama,

Ini kakak, nggak lama sebelum ini tadi hujan 10 menit, cuaca di Inggris itu emang labil. Sejauh ini aku betah di Oxford kok, semuanya gimana kabarnya? Baik-baik aja kan? Ma, aku sengaja kali ini nggak ngirim surat lewat e-mail, kayaknya lebih menarik untuk nulis surat aja ya. Untuk bapak, pak tahu nggak, aku mulai mikir kayaknya kita senasib ya… bapak ek Jakarta untuk ngerantau, aku ke Inggris juga ngerantau. Mama yang aslinya dari Bandung juga ngerantau ke Jakarta untuk sekolah. Kayaknya kita satu keluarga perantau semua ya, ahahaha…

Udah itu dulu ya, salam buat Adik Kansa & Fira,

Much love from Oxford.
Kakak

Iya benar, satu keluargaku adalah perantau semua. Bapakku aslinya adalah seorang Bugis yang datang jauh-jauh dari kehidupan kampungnya di Pinrang. Sementara mamaku, seorang Sunda yang akhirnya berasil mendapatkan beasiswa di Universitas Indonesia di bidang genetika berkat otaknya yang encer.

Bapakku, Sakkir Hanafi, terlahir dari orangtua yang bahkan tak dapat mengingat kapan anaknya sendiri lahir.

“Itu tuh… zamannya… penangkapan Darul Islam Indonesia kalau tak salah.”

Begitulah bapak menceritakan kembali bagaimana kakekku mengingat kembali kapan bapakku lahir.

Aku dapat menginjakkan kaki di Oxford semua berkat ayahku, yang sudah pergi ke hutan-hutan untu bekerja keras dan menafkahi keluarga. Dari awal aku bertanya-tanya, kenapa bapak bekerja sampai ke hutan-hutan? Kenapa tak jadi orang katoran saja? Bapak bilang berkelana dan berkebun sudah menjadi hobinya sejak kecil.

Mama juga bercerita kepadaku tentang masa kecil bapak yang katanya tidak seberuntung masa kecilku.

Bapak dulu jika tidak punya uang untuk mambayar SPP, selalu memiliki otak yang kreatif untuk mencari cara mendapatkan nafkah sendiri.

Pernah ia katanya mencoba menjemur beberapa biji-bijian untuk nantinya dijual ke kota, tapi nyatanya ada beberapa yang katanya di makan ayam, bapakku yang kecil dulu akhirnya mengangis karena ia juga jadinya rugi untuk mendapatkan uang.

Ada cerita lucu lagi, kali ini dari bapakku sendiri. Ia bilang sewaktu ia kecil ia sama sekali tidak mengerti apa yang gurunya ajarkan di pelajaran Bahasa Inggris. Aku tak terlalu kaget, toh pendidikan di kampung kualitasnya memang tidak sebanding di kota, apa lagi urusan kalau itu menyangkut urusan bahasa asing.

Ternyata eh ternyata, bapak yang awalnya aku sangka adalah anak rajin, tidak pernah bolos dan tidak pernah main-main kalau bersekolah ternyata tukang kabur kalau sudah ada yang namanya pelajaran Bahasa Inggris!

“Iya, besoknya paling cuma dimarahi sama guru.” Kata bapakku.

“Maklum lah nak, Bahasa Inggris di kampung kan tak sebagus di kota…” sambungnya lagi sambil terkekeh-kekeh.

Dari cerita itu juga terkadang aku suka mengejek kemampuan Bahasa Inggrisnya yang cetek.

-oOo-

Ada lagi cerita dari bapak, kali ini tentang masa kecilnya berkelana ke luar negeri… sendirian!

Aku pikir untuk seorang Bugis sudah merantau sejak kecil adalah hal yang normal. Mungkin karena stereotype mereka tentang para pelaut Bugis yang telah sukses mengarungi tujuh samudera dengan menggunakan kapal phinisi. Tapi destinasi yang bapakku tuju waktu itu tidak terlalu jauh dari Indonesia, hanya tetangga di atas.

Yep, apa lagi kalau bukan si negara jiran—Malaysia.

“Waktu bapak masih kecil dulu ya nak, pas libur sekolah itu bapak sudah pergi ke Malaysia. Sendirian!”

Lalu dari situ dia cerita rute-rute yang di lewati, awalnya ia numpang di mobil yang mengatar kayu-kayu hasil illegal logging untuk di ekspor ke luar negeri. Tetapi terkadang agar tak terlihat banyak orang ia selalu bersembunyi (tak tahu dimana, mungkin diantara kayu-kayu illegal logging).

Yang akan mengantarnya ke Malaysia adalah sebuah kapal pengangkut barang, bapak bilang modalnya bertahan hidup disitu adalah dengan berteman dengan koki kapal. Katanya kalau ia juga ikut membantu-bantu di dapur, lalu sebagai bayarannya ia mendapatkan makanan gratis.

Begitulah cerita bapakku.

-oOo-

Lalu setelah lulus SMA ia melanjutkan pendidikan tingginya di Unviersitas Hasanuddin yang menurutku adalah sebuah universitas yang terhitung prestigius di Ujung Pandang. Bapakku merantau lagi, kali ini ke Jakarta dan melanjutkan S2 di Universitas Indonesia, tempat tujuannya adalah universitas yang terhitung prestigius di seluruh Indonesia.

Merantau hanya dengan membawa beberapa lembar baju dan sebuah kardus indomie.

Awal yang agak susah untuk ayahku, tetapi akhrinya ia bertemu dengan mamaku dan akhirnya menikah dan lalalalala mereka memiliki rumah lalalalala dan memiliki aku dan adikku dan klise, klise, klise.

Bapak mengalami jatuh bangun lebih dari 2 kali, perusahaan pertamanya berawalan di sebuah ruko yang berlantai 3, ia membangun sebuah yayasan pengurus Indonesia sehat yang namanya sama sekali tidak aku ingat, namun saat aku menginjak TK perusahaan itu tiba-tiba bangkrut. Tapi kebangkurtannya itu dibayar lagi.

Bapak membuat lagi sebuah yayasan Indonesia sehat, kali ini namanya YPIS (Yayasan Pembangunan Indonesia Sehat). Seingatku fokus utamanya terhadap penyakit TBC (Penyakti pada paru-paru), mama bilang aku pernah terkena penyakit itu, mungkin itu juga salah satu alasan bapak membuat sebuah yayasan kesehatan. Ia selalu mau berguna bagi banyak masyarakat.

Tapi sayangnya YPIS akhirnya bangkrut juga setelah aku menginjak kelas 2 SD, tetapi bapak bukanlah orang yang mudah menyerah, akhirnya sesuatu yang lebih besar dari pada sebuah yayasan Indonesia sehat, lebih besar dari pada hanya berkampanye untuk memberantas TBC.

Ia mendapatkan sebuah proyek besar yang akhirnya menjadi awal kehidupan baru bagi kita semua. Pindah rumah, mobil baru, peralatan tulis baru, buku baru, baju baru, semuanya baru. Tapi bapak tidak pernah melupakan tradisi dan jati dirinya sebagai seorang Bugis.

Selesai menulis surat aku beranjak dari tempat dudukku menuju salah satu mailbox merah yang sudah menjadi salah satu icon Inggris setelah phone box ngejreng yang jgua berwarna merah. Aku cium suratnya dan aku selipkan ke dalam lubang mailbox tersebut.

Semoga saja surat itu sampai ke rumah segera.


Tamat.

-----------------------------------------------------------



Ini bisa dibilang monumen kan?

No comments:

Post a Comment