Showing posts with label Indonesian Posts. Show all posts
Showing posts with label Indonesian Posts. Show all posts

Tuesday, 15 January 2013

Anak Sopir Angkot ke The Big Apple

Halo Halo Halo, liburan gimana? Author harap semuanya nggak menderita pas liburan. Author sendiri sih liburannya oke oke aja <---- (nggak bisa ngomong apa-apa lagi, habis pergi liburan ke kampung dan jauh dari tangan internet yang maha ajaib)

Jadi author mau rekomendasi buku yang inspiratif buanget dan awalnya juga sempat baca karena tugas sekolah, ya apa lagi kalau bukan Bahasa Indonesia.

Jadi buku ini penulisnya Mas Iwan Setyawan, sudah pernah merambah karier di New York City selama 10 tahun dan posisi terakhirnya disana adalah sebagai Director Internal Client Management, wuidih hebat teuing eta mah...

Kalimat pertama dari sinopsis buku ini yang paling author suka itu adalah "Bapakku, sopir angkot yang tak bisa mengingat tanggal lahirnya" (Author niru baris ini nih untuk cerpen yang author buat untuk tugas Bahasa Indonesia... #heh) secara bapak author juga sebenarnya senasib sama bapaknya Mas Iwan, satu-satunya pengingat tanggal lahir cuma kejadian kehancurannya Darul Islam di Indonesia.

Author suka ceritanya Mas Iwan yang ada sangkutannya dengan perjuangan hidup di negara lain, jadi itu juga yang sebenarnya membuat author tambah penasaran dan penasaran lagi pada saat membaca buku "9 Summers 10 Autumns" ini.

Author pikir buku ini cukup kreatif juga, terutama bagaimana Mas Iwan membuat 'ilusi' merupai seorang anak kecil yang menemani hidupnya selama ia berada di New York dan dari situ juga ia dapat bercerita tentang pengalaman hidupnya dan perjuangannya untuk bisa sampai di New York. Intinya cara penyampaiannya keren juga.

Lalu juga dari sini kita tahu kalau pendidikan itu bisa, dan memang BISA merubah hidup seseorang. Pendidikan itu kan beda dengan harta, kalau harta kita yang menjaga, tapi kalau pendidikan, ya pendidikan yang dapat menjaga kita. Nah, cerita Mas Iwan ini juga mebuktikan kalau pendidikan itu efeknya hebat banget buat kita semua.

Mau kamu anak sopir angkot, anak petani, anak saudagar, cuma pendidikan yang sebenarnya bisa nentuin nasib kita semua di masa depan. Jadi, kalau anak sopir angkot bisa merubah dunianya dengan kekuatan pendidikan, gimana kita yang memang sudah terlahir mampu tapi masih malas-malas sekolah?

Hayo hayo~ Gimana hayo~

Udah lah, pokoknya gitu aja dari author. Habisnya author terkesan banget sama buku "9 Summers 10 Autumns." Pas author lihat di cover belakang bukunya, di situ ada tulisan "SEGERA DIFILMKAN."

Amin, kalo bisa usahain tahun ini ya Mas Sutradara.





-Dadah

Nibras Sakkir

Tuesday, 11 December 2012

Sama Nasib Satu Perjuangan


Jadi kali ini post-ku adalah sebuah cerpen yang aslinya dibuat untuk tugas Bahasa Indonesia, cerita ini berdasarkan pengalaman asli bapakku yang aslinya adalah seorang anak perantau dari tanah Orang Bugis, Ujung Pandang.

Cerita ini juga buat bapak yang aku jamin pasti ngecek blog-ku dimana pun bapak berada dan kadang selalu minta untuk ditulisin sebuah biografi pendek padahal akunya saja masih penulis amatiran yang masih berada di level ingusan kalau urusan menulis.

Aku minta maaf kalau ternyata ada beberapa penulisan yang error atau memang aku yang typo. <--- kutukan karena sering ngehujat guru Bahasa Indonesia #plak

------------------------------------------------------


Sama Nasib Satu Perjuangan

Oxford sekarang dipenuhi dengan berbagai macam murid-murid internasional yang membuat kota yang terkenal akan universitasnya yang prestigius ini menjadi lebih berwarna dari biasanya.

Aku duduk di sebuah bangku taman, berhadapan dengan monumen PEACE, sebuah batu yang dituliskan 4 bahasa, Arab, Tamil, Hebrew, dan Inggris. Kira-kira bunyinya seperti ini:

PEACE

TO HONOUR
THOSE WHO
SEEK ANOTHER
PATH IN PLACE
OF VIOLENCE
AND WAR


Di samping monumen tersebut juga terdapat sebuah gereja, sebagai seorang asing terkadang aku selalu penasaran ingin merasakan secara langsung tempat beribadah umat nasrani tersebut, pasti euforianya berbeda sangat dibandingkan dengan hanya melihatnya lewat televisi atau Internet.

Tiba-tiba hujan rintik-rintik turun, aku tidak bergerak dari tempatku dan hanya menghiraukannya, toh seperti ini lah cuaca labil Inggris, 10 menit lagi pasti matahari akan cerah kembali. Hari-hari di Inggris tidak akan lengkap tanpa hujan.

Nuria, seorang Italia yang menjadi roommate-ku untuk kira-kira setahun ini awalnya mengajakku untuk pergi dengannya ke kafe, sayang aku menolaknya untuk alasan aku memilki rencana lain. Sekarang di satu tanganku terdapat 5 keping perangko internasional yang aku beli di Covered Market dan sebuah kartu pos di tanganku yang satu lagi.

Hujan menghalangiku untuk menulis sesuatu di atas kartu pos ini, untung kartonnya tidak terlalu basah.

Jujur, aku tak punya alat yang istilahnya dapat memenuhi kemauanku untuk menghubungi orangtua di Indonesia, sejak kecil orangtuaku selalu mengajarkanku dengan cara hidup sederhana. Tak ada iPhone, tak ada iPad, hanya secarik kartu pos, perangko, dan pulpen dapat mengatasi homesick.

Perkiraanku benar, 10 menit telah berlalu dan matahari kembali bersinar, aku pun menggunakan kesempatan ini untuk menuliskan semua perasaanku untuk orangtua, adik, dan keluarga lainnya di Indonesia.

Mereka harus tahu kalau aku sudah banyak merasakan bagaimana rasanya merantau di negeri orang.

Dear bapak & mama,

Ini kakak, nggak lama sebelum ini tadi hujan 10 menit, cuaca di Inggris itu emang labil. Sejauh ini aku betah di Oxford kok, semuanya gimana kabarnya? Baik-baik aja kan? Ma, aku sengaja kali ini nggak ngirim surat lewat e-mail, kayaknya lebih menarik untuk nulis surat aja ya. Untuk bapak, pak tahu nggak, aku mulai mikir kayaknya kita senasib ya… bapak ek Jakarta untuk ngerantau, aku ke Inggris juga ngerantau. Mama yang aslinya dari Bandung juga ngerantau ke Jakarta untuk sekolah. Kayaknya kita satu keluarga perantau semua ya, ahahaha…

Udah itu dulu ya, salam buat Adik Kansa & Fira,

Much love from Oxford.
Kakak

Iya benar, satu keluargaku adalah perantau semua. Bapakku aslinya adalah seorang Bugis yang datang jauh-jauh dari kehidupan kampungnya di Pinrang. Sementara mamaku, seorang Sunda yang akhirnya berasil mendapatkan beasiswa di Universitas Indonesia di bidang genetika berkat otaknya yang encer.

Bapakku, Sakkir Hanafi, terlahir dari orangtua yang bahkan tak dapat mengingat kapan anaknya sendiri lahir.

“Itu tuh… zamannya… penangkapan Darul Islam Indonesia kalau tak salah.”

Begitulah bapak menceritakan kembali bagaimana kakekku mengingat kembali kapan bapakku lahir.

Aku dapat menginjakkan kaki di Oxford semua berkat ayahku, yang sudah pergi ke hutan-hutan untu bekerja keras dan menafkahi keluarga. Dari awal aku bertanya-tanya, kenapa bapak bekerja sampai ke hutan-hutan? Kenapa tak jadi orang katoran saja? Bapak bilang berkelana dan berkebun sudah menjadi hobinya sejak kecil.

Mama juga bercerita kepadaku tentang masa kecil bapak yang katanya tidak seberuntung masa kecilku.

Bapak dulu jika tidak punya uang untuk mambayar SPP, selalu memiliki otak yang kreatif untuk mencari cara mendapatkan nafkah sendiri.

Pernah ia katanya mencoba menjemur beberapa biji-bijian untuk nantinya dijual ke kota, tapi nyatanya ada beberapa yang katanya di makan ayam, bapakku yang kecil dulu akhirnya mengangis karena ia juga jadinya rugi untuk mendapatkan uang.

Ada cerita lucu lagi, kali ini dari bapakku sendiri. Ia bilang sewaktu ia kecil ia sama sekali tidak mengerti apa yang gurunya ajarkan di pelajaran Bahasa Inggris. Aku tak terlalu kaget, toh pendidikan di kampung kualitasnya memang tidak sebanding di kota, apa lagi urusan kalau itu menyangkut urusan bahasa asing.

Ternyata eh ternyata, bapak yang awalnya aku sangka adalah anak rajin, tidak pernah bolos dan tidak pernah main-main kalau bersekolah ternyata tukang kabur kalau sudah ada yang namanya pelajaran Bahasa Inggris!

“Iya, besoknya paling cuma dimarahi sama guru.” Kata bapakku.

“Maklum lah nak, Bahasa Inggris di kampung kan tak sebagus di kota…” sambungnya lagi sambil terkekeh-kekeh.

Dari cerita itu juga terkadang aku suka mengejek kemampuan Bahasa Inggrisnya yang cetek.

-oOo-

Ada lagi cerita dari bapak, kali ini tentang masa kecilnya berkelana ke luar negeri… sendirian!

Aku pikir untuk seorang Bugis sudah merantau sejak kecil adalah hal yang normal. Mungkin karena stereotype mereka tentang para pelaut Bugis yang telah sukses mengarungi tujuh samudera dengan menggunakan kapal phinisi. Tapi destinasi yang bapakku tuju waktu itu tidak terlalu jauh dari Indonesia, hanya tetangga di atas.

Yep, apa lagi kalau bukan si negara jiran—Malaysia.

“Waktu bapak masih kecil dulu ya nak, pas libur sekolah itu bapak sudah pergi ke Malaysia. Sendirian!”

Lalu dari situ dia cerita rute-rute yang di lewati, awalnya ia numpang di mobil yang mengatar kayu-kayu hasil illegal logging untuk di ekspor ke luar negeri. Tetapi terkadang agar tak terlihat banyak orang ia selalu bersembunyi (tak tahu dimana, mungkin diantara kayu-kayu illegal logging).

Yang akan mengantarnya ke Malaysia adalah sebuah kapal pengangkut barang, bapak bilang modalnya bertahan hidup disitu adalah dengan berteman dengan koki kapal. Katanya kalau ia juga ikut membantu-bantu di dapur, lalu sebagai bayarannya ia mendapatkan makanan gratis.

Begitulah cerita bapakku.

-oOo-

Lalu setelah lulus SMA ia melanjutkan pendidikan tingginya di Unviersitas Hasanuddin yang menurutku adalah sebuah universitas yang terhitung prestigius di Ujung Pandang. Bapakku merantau lagi, kali ini ke Jakarta dan melanjutkan S2 di Universitas Indonesia, tempat tujuannya adalah universitas yang terhitung prestigius di seluruh Indonesia.

Merantau hanya dengan membawa beberapa lembar baju dan sebuah kardus indomie.

Awal yang agak susah untuk ayahku, tetapi akhrinya ia bertemu dengan mamaku dan akhirnya menikah dan lalalalala mereka memiliki rumah lalalalala dan memiliki aku dan adikku dan klise, klise, klise.

Bapak mengalami jatuh bangun lebih dari 2 kali, perusahaan pertamanya berawalan di sebuah ruko yang berlantai 3, ia membangun sebuah yayasan pengurus Indonesia sehat yang namanya sama sekali tidak aku ingat, namun saat aku menginjak TK perusahaan itu tiba-tiba bangkrut. Tapi kebangkurtannya itu dibayar lagi.

Bapak membuat lagi sebuah yayasan Indonesia sehat, kali ini namanya YPIS (Yayasan Pembangunan Indonesia Sehat). Seingatku fokus utamanya terhadap penyakit TBC (Penyakti pada paru-paru), mama bilang aku pernah terkena penyakit itu, mungkin itu juga salah satu alasan bapak membuat sebuah yayasan kesehatan. Ia selalu mau berguna bagi banyak masyarakat.

Tapi sayangnya YPIS akhirnya bangkrut juga setelah aku menginjak kelas 2 SD, tetapi bapak bukanlah orang yang mudah menyerah, akhirnya sesuatu yang lebih besar dari pada sebuah yayasan Indonesia sehat, lebih besar dari pada hanya berkampanye untuk memberantas TBC.

Ia mendapatkan sebuah proyek besar yang akhirnya menjadi awal kehidupan baru bagi kita semua. Pindah rumah, mobil baru, peralatan tulis baru, buku baru, baju baru, semuanya baru. Tapi bapak tidak pernah melupakan tradisi dan jati dirinya sebagai seorang Bugis.

Selesai menulis surat aku beranjak dari tempat dudukku menuju salah satu mailbox merah yang sudah menjadi salah satu icon Inggris setelah phone box ngejreng yang jgua berwarna merah. Aku cium suratnya dan aku selipkan ke dalam lubang mailbox tersebut.

Semoga saja surat itu sampai ke rumah segera.


Tamat.

-----------------------------------------------------------



Ini bisa dibilang monumen kan?

Saturday, 10 November 2012

Atas Nama Kenangan

Berawalan dari penulis buku Travellous, Andrei Budiman, aku jadi terinspirasi untuk menulis ini di blog-ku sendiri. Walaupun bukan modal nekat mengikuti perjalanan ini, sepertinya setiap perjalanan memang berkesan bagi para pengelananya dengan caranya sendiri. Jadi...

-oOo-

Sekitar 5 bulan yang lalu waktu liburan kenaikan kelas, aku barus aja sampai dari sebuah perjalanan yang menurutku life-changing.

Mungkin ini karena aku tipe orang yang selalu bertopang dagu dan terkadang melamunkan mimpiku sendiri, bukannya malah berfikir bahwa mimpi itu 10% dan 90% apa yang akan kita lakukan terhadap mimpi itu. Ditambah orangtua pun telah berperan banyak agar aku berkesempatan untuk menginjakkan kakiku di sebuah tempat dimana urbanisasi terjadi, tetapi bukti-bukti sejarahnya masih tersebar dimana-mana.
Tak tahu apa banyak orang yang mungkin seumuran aku akan berpikiran seperti ini jika melewatinya, atau mungkin mereka hanya menganggapnya sebagai sebuah liburan yang berkesan dan yang tak dapat semua orang bisa raih dalam hidupnya. 

Atau ternyata aku yang terlalu serius?

Intinya, 5 bulan yang lalu aku telah mencoba apa itu rasanya berkelana di tempat yang nun jauh dari rumah, dengan bantuan organisasi yang bernama EF (English First). Di sini kemandirian dan keberanianku diuji, Bahasa Inggrisku pun apa lagi. Tapi pasti mungkin banyak yang pernah dengar dengan kata student exchange atau mungkin home stay?

Destinasi yang waktu itu aku pilih adalah kota dengan nama Oxford.

Lelucon yang menarik untuk kota yang terkenal akan universitasnya yang prestigius


Memang kota itu terkenal dengan universitasnya yang prestigius dan kuno (kalau nggak salah Oxford telah melahirkan sekitar 26 perdana menteri Inggris), bangunan-bangunan yang juga terkenal sama kunonya juga berkumpulan di Oxford, terkadang ketika aku berjalan di sektiar jalan setapaknya aku juga merasa seperti sedang time-traveling. Ok ironis.

Untuk pengalamanku ini, aku ditempati di rumah nenek-nenek asing yang paling gaul yang pernah aku temui, umurnya 70 tahun dan penggila olahraga, terutama bola. Kebetulan waktu itu sedang musim-musim Euro cup jadi di rumah ribut soal bola itu non-stop.
Namanya Kathleen Smith. Walaupun gaul,  Kath wataknya juga tegas (korban pernah dimarahin sama Kath karena pulang terlambat dan nggak ngasih kabar apa-apa ke dia) dan selalu bisa menjadi nenek yang tepat bagi siapa saja. 

Tempat souvenir pun menjadi tempat penjual atribut untuk Euro 2012


Restauran yang juga memasang bendera-bendera untuk Euro 2012


Ngomong-ngomong di dalam rumah nenek-nenek gaul ini nggak cuma aku doang yang dirawat dia selama 2 minggu tinggal di Oxford, rumahnya juga ditempati salah satu temanku yang berasal dari Indonesia, lalu ada 2 orang yang satu berasal dari Italia dan yang satu lagi dari Spanyol.
Oke, kombinasi yang pas karena kedua teman asingku itu dari negara yang terkenal dengan tim-tim bolanya yang kuat, ditambah lagi pengetahuan mereka tentang bola yang nggak sedangkal punyaku, lalu teman Indonesiaku ini juga gila bola, sepertinya aku doang ya yang gila anggar #ApaPula

Sarah (Kiri), teman serumahku yang dari Indonesia

Tapi di balik semua itu kita juga berhadapan dengan namanya perbedaan budaya, dan satu-satunya cara menghadapinya adalah dengan toleransi dan respek.

Teman Italiaku ini adalah seorang ateis, teman Indonesiaku ini yang kebetulan berasal dari Bali adalah seorang nasrani, Kath juga. Tetapi aku kurang tahu untuk teman Spanyolku, dan sepertinya itu semua menjadikan aku satu-satunya anak yang beragama Islam di rumah Kath.
Tapi aku sudah merasa mereka semua sebagai keluarga, awalnya sulit untuk membayangkan hanya dalam jangka waktu 2 minggu, dengan perbedaan-perbedaan yang bisa dibilang berbeda 180˚, kita semua sudah merasa seperti mengenal satu sama lain dengan dekat.



Nuria (kanan) & Kath

Temanku yang seorang Italia, bernama Nuria (eh ritmenya jadi keren tiba-tiba #plak) pernah bilang sesuatu yang kira-kira seperti ini bunyinya,

"Nini (panggilan sayangku #eh) , hurry up. You must pray first and after that go get to sleep!"

Dan disini semua memori tentang kelalaianku terhadap sholat-sholatku sejenak berkumpul.

Lalu berfikir, perbedaan itu sesuatu yang sangat indah ya... 


Dadah

Nibras Sakkir


-oOo-


Di atas langit Rusia/Ukraina aku merenung, apa ini mimpi? 



Di atas Kota London


Bagi para "Potterhead" sepertinya Oxford adalah destinasi yang tepat


Saturday, 27 October 2012

Sumpah Gue Sumpah Pemuda!

Pertama
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoewa
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Baru aja baca barisan-barisan yang ada di Sumpah Pemuda, lalu tiba-tiba otak diahlikan lagi ke para generasi muda Indonesia. Satu hal yang dipikirin itu: "Apa kita semua sudah menanamkan nilai-nilai yang ada di barisan ini di dalam diri kita semua?"

Ya untuk yang ketiga jangan ditanya lagi, itu mah sudah jadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Tapi untuk yang kedua dan pertama...

Agak diragukan keberadaannya sekarang (jengjengjeng)

Tapi sepertinya kalau mencoba membahas barisan yang pertama dan kedua, pasti akhir-akhirnya bisa nyangkut dengan yang namanya nasionalisme.

Oke emang nasionalisme tuh berkobar sangat kalo udah ditambah sama yang namanya sepakbola, tapi masa cuma sepakbola atau yang bersangkutan dengan olahraga aja sih. Jujur aku kagum banget sama nasionalisme orang-orang Indonesia, apa lagi orang-orang "tempo doeloe," beuh itu mah jangan ditanya lagi, tapi terkadang suka kasihan sama orang-orang Indonesia zaman sekarang.

"Eh eh eh, kita ke Singapura yuk! Barang-barang disana banyak banget yang nggak ada di Indonesia lho~"

Jujur aja kadang telinga saya sendiri suka nyeri ngedenger yang kayak gitu.

"Akh Indonesia, malesin. Mending ke luar negeri keren."

Yang ini harus dicobain diceburin ke laut-laut Indonesia dulu kali ye.

Saya sendiri makin jauh dari tanah air, malah makin cinta, mungkin itu juga awalnya dair rasa kepunyaan terhadap Indonesia sendiri. Di mata dunia itu negara kita justru beruntung banget! Budaya, kita ada segudang, kekayaan alam, silahkan hitung sendiri, apa sih yang nggak menarik dari Indonesia?

Nasionalisme rasanya kurang lengkap ya kalau nggak ada yang namanya persatuan.
Ngomong-ngomong soal persatuan, yang namanya tawuran lagi marak tuh...


(courtesy: mobile.seruu.com)

Tawuran diawali dengan sekelompok pemuda-pemuda yang sok jagoan...

dan berakhir dengan...

(courtesy: merdeka.com)

Penghinaan.

Hoi, dulu Soekarna & Hatta itu nggak kerja secara individual untuk memerdekakan yang namanya Bangsa Indonesia. Ada gitu tawuran? Ada, tapi ngelawan Belanda, bukannya saling ngebantai satu sama lain. Nah, bedanya disitu. Mereka tahu kalo mereka saling cekcok ngeributin hal-hal seperti perbedaan suku lah, agama, budaya, latar belakang keluarga, dan lainnya, pasti pihak lain yang bakal menang. 

"Anak Sulawesi, lawan Anak Jakarta.
Anak petani, lawan anak orang kaya.
Siapa yang menang? Belanda!"

Kalimat yang jleb sangat ini kira-kria bunyinya seperti itu, saya ambil dari salah satu adegan di film "Merah Putih." Bagi saya kalimat ini terkeren pertama, lalu pilihan saya yang kedua "Bau Orang Belanda itu seperti keju." (?)


(courtesy: id.wikipedia.org)

Tuh, bahkan di posternya saja disebutkan "Untuk merdeka mereka bersatu"


Hari-hari seperti Hari Sumpah Pemuda ini paling nggak bisa mengajarkan kita semua sedikit pelajaran, hadiah dari para pendahulu kita semua, orang-orang yang selalu menaruh harapan pada para generasi mudanya. Untuk itu lah, jangan sampai harapan mereka musnah!

Bagi para generasi muda dengan impiannya yang tinggi, bagi para penerus bangsa Indonesia, selamat Hari Sumpah Pemuda!

Dadah

-Nibras Sakkir