Saturday, 22 December 2012
New Year's Resolutions... Pretty much
One of my teachers told my friends and I to make our own New Year's resolutions, since I am not the kind of a person who would actually 'stick' to some resolutions, I found this to be pretty interesting.
Sometimes you study many things without even realizing it and it may comes in many forms. You could observe your surroundings and make a simple conclusion or maybe analysis, and just by that I think you've learnt something valuable too. Since learning doesn't have its limit, I just want to explore even more about the world now.
And then I hated fencing.
But I think fencing could also be about:
My teacher came up with these kinds of New Year's resolution for us:
1. For family
2. For school
3. Free, anything
And so I came up with:
1. Interact more with my family, especially my sisters
I constantly found a way to annoy one of my younger sisters and ended up having a war with her and I just felt that our relationship is somehow not so sisterly-like sometimes (Try to put us in a quiet and empty room, it would really be awkward for the both of us). With me being so distant with my own family since I'm getting myself really into the magical world of internet, I just have the feeling to be more responsible now since I'm the oldest in the family and all.
2. Getting out of the world of pure procrastination Be more organized by sticking to my agenda.
When it comes to having an agenda book, I would just left it and having it untouched since it felt so weird for me to actually write several plans about what I'm going to do. But I think since this one is related with school, I may just make my very own agenda for working on with my projects (I procrastinate A LOT to like an infinite degree every time I worked on a project). Then when I realized the dead line is in several hours, I would go violent in my working desk.
3. Be more motivated, especially in studying and fencing.
Anyway
I haven't told you guys about the outcomes of my very first fencing competition.
Pathetic-me decided to keep it unknown for several reasons.
I lost.
I only got 5 points out of 15 since I'm against 3 people here and each bout is consisting of 5 points.
I wept okay.
Bah.
Then I wept again.
The funny thing is that I got 2 yellow cards in my very first competition.
And I hate the ref.
But I think fencing could also be about:
Dadah
-Nibras Sakkir
Note:
If you're a fencer, go to fencer-problems.tumblr.com and you will find yourself nod in agreement with every post you came across.
If you're a fencer, go to fencer-problems.tumblr.com and you will find yourself nod in agreement with every post you came across.
Monday, 17 December 2012
Aunty Suu
Before my trip to Oxford, I've never even thought about wanting to know more about this particular lady. A lady who has great sense of justice and democracy, a lady who has sacrificed everything just for her country, a lady... who has the same birthday as I am. That particular lady stands by the name Aung San Suu Kyi.
She was born in 19 June 1945, so am I. You could change the year though, I'm about several decades younger than her. Though I think our birthday might be the only thing that we have in common, I felt we have this really special bond somehow.
Back in Oxford, the name Aung San Suu Kyi somehow was quiet familiar with my ears since I've heard several news concerning Burma, though I had no idea who exactly is Aung San Suu Kyi. I encountered several things that got the connection with 'The Lady' back in Oxford. I thought these were mere coincidences.
I told my mum about these special encounters and that both Aunty Suu and I have the same birthday, then her answer was "That's what you'd call as fate."
Curiosity was ruling my mind after that, I decided to go and buy:
"Letters From Burma"
As I went through each chapter about Aunty Suu's journey, I felt really close and it's like seeing it more than just a movie, it felt so real, about her amazing accomplishments in order to help the people of her beloved native land to be able to have the rights that have been taken from them for a long time.
As a child, Aunty Suu's father was murdered when she was just 2 years old. Her father, Aung San, was one of the many people who helped Burma gaining its independence. Aunty Suu is also a leader of the National League for Democracy (NLD).
What makes it interesting is how the military government always refused to recognize her party's victory and how Aunty Suu along her comrades stand tall despite the fact that the government (and there are also other associations who are somehow against the NLD) always opposing them in many ways and always looking for chances to embarrass the NLD people. Starting from a plan about throwing the NLD tomatoes in a certain national day in order to make them feel so embarrass (the plan was then canceled for some unknown reason, I laughed at this part) until an anarchy operation against the NLD while soldiers who stand in the corner of the street didn't move an inch at all and just watch.
After reading the book, now I know how the Burmese are so lucky to have such a person leading them to democracy. A lady who has such an amazing passion and charisma.
Aung San is for father,
Kyi is for mother,
The military is such a bother,
I'll support Aunty Suu even further!
Dadah
-Nibras Sakkir
Tuesday, 11 December 2012
Sama Nasib Satu Perjuangan
Jadi kali ini post-ku adalah sebuah cerpen yang aslinya dibuat untuk tugas Bahasa Indonesia, cerita ini berdasarkan pengalaman asli bapakku yang aslinya adalah seorang anak perantau dari tanah Orang Bugis, Ujung Pandang.
Cerita ini juga buat bapak yang aku jamin pasti ngecek blog-ku dimana pun bapak berada dan kadang selalu minta untuk ditulisin sebuah biografi pendek padahal akunya saja masih penulis amatiran yang masih berada di level ingusan kalau urusan menulis.
Aku minta maaf kalau ternyata ada beberapa penulisan yang error atau memang aku yang typo. <--- kutukan karena sering ngehujat guru Bahasa Indonesia #plak
------------------------------------------------------
Sama Nasib Satu Perjuangan
Oxford sekarang dipenuhi dengan berbagai macam murid-murid
internasional yang membuat kota yang terkenal akan universitasnya yang
prestigius ini menjadi lebih berwarna dari biasanya.
Aku duduk di sebuah bangku taman, berhadapan dengan monumen
PEACE, sebuah batu yang dituliskan 4 bahasa, Arab, Tamil, Hebrew, dan Inggris.
Kira-kira bunyinya seperti ini:
PEACE
TO HONOUR
THOSE WHO
SEEK ANOTHER
PATH IN PLACE
OF VIOLENCE
AND WAR
Di samping monumen tersebut juga terdapat sebuah gereja,
sebagai seorang asing terkadang aku selalu penasaran ingin merasakan secara
langsung tempat beribadah umat nasrani tersebut, pasti euforianya berbeda
sangat dibandingkan dengan hanya melihatnya lewat televisi atau Internet.
Tiba-tiba hujan rintik-rintik turun, aku tidak bergerak dari
tempatku dan hanya menghiraukannya, toh seperti ini lah cuaca labil Inggris, 10
menit lagi pasti matahari akan cerah kembali. Hari-hari di Inggris tidak akan
lengkap tanpa hujan.
Nuria, seorang Italia yang menjadi roommate-ku untuk kira-kira setahun ini awalnya mengajakku untuk
pergi dengannya ke kafe, sayang aku menolaknya untuk alasan aku memilki rencana
lain. Sekarang di satu tanganku terdapat 5 keping perangko internasional yang
aku beli di Covered Market dan sebuah
kartu pos di tanganku yang satu lagi.
Hujan menghalangiku untuk menulis sesuatu di atas kartu pos
ini, untung kartonnya tidak terlalu basah.
Jujur, aku tak punya alat yang istilahnya dapat memenuhi
kemauanku untuk menghubungi orangtua di Indonesia, sejak kecil orangtuaku
selalu mengajarkanku dengan cara hidup sederhana. Tak ada iPhone, tak ada iPad,
hanya secarik kartu pos, perangko, dan pulpen dapat mengatasi homesick.
Perkiraanku benar, 10 menit telah berlalu dan matahari
kembali bersinar, aku pun menggunakan kesempatan ini untuk menuliskan semua
perasaanku untuk orangtua, adik, dan keluarga lainnya di Indonesia.
Mereka harus tahu kalau aku sudah banyak merasakan bagaimana
rasanya merantau di negeri orang.
Dear
bapak & mama,
Ini kakak, nggak lama
sebelum ini tadi hujan 10 menit, cuaca di Inggris itu emang labil. Sejauh ini
aku betah di Oxford kok, semuanya gimana kabarnya? Baik-baik aja kan? Ma, aku
sengaja kali ini nggak ngirim surat lewat e-mail, kayaknya lebih menarik untuk
nulis surat aja ya. Untuk bapak, pak tahu nggak, aku mulai mikir kayaknya kita
senasib ya… bapak ek Jakarta untuk ngerantau, aku ke Inggris juga ngerantau.
Mama yang aslinya dari Bandung juga ngerantau ke Jakarta untuk sekolah.
Kayaknya kita satu keluarga perantau semua ya, ahahaha…
Udah
itu dulu ya, salam buat Adik Kansa & Fira,
Much
love from Oxford.
Kakak
Iya benar, satu keluargaku adalah perantau semua. Bapakku
aslinya adalah seorang Bugis yang datang jauh-jauh dari kehidupan kampungnya di
Pinrang. Sementara mamaku, seorang Sunda yang akhirnya berasil mendapatkan
beasiswa di Universitas Indonesia di bidang genetika berkat otaknya yang encer.
Bapakku, Sakkir Hanafi, terlahir
dari orangtua yang bahkan tak dapat mengingat kapan anaknya sendiri lahir.
“Itu tuh… zamannya… penangkapan
Darul Islam Indonesia kalau tak salah.”
Begitulah bapak menceritakan
kembali bagaimana kakekku mengingat kembali kapan bapakku lahir.
Aku dapat menginjakkan kaki di
Oxford semua berkat ayahku, yang sudah pergi ke hutan-hutan untu bekerja keras
dan menafkahi keluarga. Dari awal aku bertanya-tanya, kenapa bapak bekerja
sampai ke hutan-hutan? Kenapa tak jadi orang katoran saja? Bapak bilang
berkelana dan berkebun sudah menjadi hobinya sejak kecil.
Mama juga bercerita kepadaku
tentang masa kecil bapak yang katanya tidak seberuntung masa kecilku.
Bapak dulu jika tidak punya uang
untuk mambayar SPP, selalu memiliki otak yang kreatif untuk mencari cara
mendapatkan nafkah sendiri.
Pernah ia katanya mencoba menjemur
beberapa biji-bijian untuk nantinya dijual ke kota, tapi nyatanya ada beberapa
yang katanya di makan ayam, bapakku yang kecil dulu akhirnya mengangis karena
ia juga jadinya rugi untuk mendapatkan uang.
Ada cerita lucu lagi, kali ini dari bapakku sendiri. Ia bilang
sewaktu ia kecil ia sama sekali tidak mengerti apa yang gurunya ajarkan di
pelajaran Bahasa Inggris. Aku tak terlalu kaget, toh pendidikan di kampung
kualitasnya memang tidak sebanding di kota, apa lagi urusan kalau itu
menyangkut urusan bahasa asing.
Ternyata eh ternyata, bapak yang awalnya aku sangka adalah
anak rajin, tidak pernah bolos dan tidak pernah main-main kalau bersekolah
ternyata tukang kabur kalau sudah ada yang namanya pelajaran Bahasa Inggris!
“Iya, besoknya paling cuma dimarahi sama guru.” Kata bapakku.
“Maklum lah nak, Bahasa Inggris di kampung kan tak sebagus di
kota…” sambungnya lagi sambil terkekeh-kekeh.
Dari cerita itu juga terkadang aku suka mengejek kemampuan
Bahasa Inggrisnya yang cetek.
-oOo-
Ada lagi cerita dari bapak, kali ini tentang masa kecilnya
berkelana ke luar negeri… sendirian!
Aku pikir untuk seorang Bugis sudah merantau sejak kecil
adalah hal yang normal. Mungkin karena stereotype
mereka tentang para pelaut Bugis yang telah sukses mengarungi tujuh samudera
dengan menggunakan kapal phinisi. Tapi destinasi yang bapakku tuju waktu itu
tidak terlalu jauh dari Indonesia, hanya tetangga di atas.
Yep, apa lagi kalau bukan si negara jiran—Malaysia.
“Waktu bapak masih kecil dulu ya nak, pas libur sekolah itu
bapak sudah pergi ke Malaysia. Sendirian!”
Lalu dari situ dia cerita rute-rute yang di lewati, awalnya
ia numpang di mobil yang mengatar kayu-kayu hasil illegal logging untuk di ekspor ke luar negeri. Tetapi terkadang agar
tak terlihat banyak orang ia selalu bersembunyi (tak tahu dimana, mungkin
diantara kayu-kayu illegal logging).
Yang akan mengantarnya ke Malaysia adalah sebuah kapal
pengangkut barang, bapak bilang modalnya bertahan hidup disitu adalah dengan
berteman dengan koki kapal. Katanya kalau ia juga ikut membantu-bantu di dapur,
lalu sebagai bayarannya ia mendapatkan makanan gratis.
Begitulah cerita bapakku.
-oOo-
Lalu setelah lulus SMA ia melanjutkan pendidikan tingginya di
Unviersitas Hasanuddin yang menurutku adalah sebuah universitas yang terhitung
prestigius di Ujung Pandang. Bapakku merantau lagi, kali ini ke Jakarta dan
melanjutkan S2 di Universitas Indonesia, tempat tujuannya adalah universitas
yang terhitung prestigius di seluruh Indonesia.
Merantau hanya dengan membawa beberapa lembar baju dan sebuah
kardus indomie.
Awal yang agak susah untuk ayahku, tetapi akhrinya ia bertemu
dengan mamaku dan akhirnya menikah dan lalalalala mereka memiliki rumah
lalalalala dan memiliki aku dan adikku dan klise, klise, klise.
Bapak mengalami jatuh bangun lebih dari 2 kali, perusahaan
pertamanya berawalan di sebuah ruko yang berlantai 3, ia membangun sebuah
yayasan pengurus Indonesia sehat yang namanya sama sekali tidak aku ingat,
namun saat aku menginjak TK perusahaan itu tiba-tiba bangkrut. Tapi kebangkurtannya
itu dibayar lagi.
Bapak membuat lagi sebuah yayasan Indonesia sehat, kali ini
namanya YPIS (Yayasan Pembangunan Indonesia Sehat). Seingatku fokus utamanya
terhadap penyakit TBC (Penyakti pada paru-paru), mama bilang aku pernah terkena
penyakit itu, mungkin itu juga salah satu alasan bapak membuat sebuah yayasan
kesehatan. Ia selalu mau berguna bagi banyak masyarakat.
Tapi sayangnya YPIS akhirnya
bangkrut juga setelah aku menginjak kelas 2 SD, tetapi bapak bukanlah orang
yang mudah menyerah, akhirnya sesuatu yang lebih besar dari pada sebuah yayasan
Indonesia sehat, lebih besar dari pada hanya berkampanye untuk memberantas TBC.
Ia mendapatkan sebuah proyek besar
yang akhirnya menjadi awal kehidupan baru bagi kita semua. Pindah rumah, mobil
baru, peralatan tulis baru, buku baru, baju baru, semuanya baru. Tapi bapak
tidak pernah melupakan tradisi dan jati dirinya sebagai seorang Bugis.
Selesai menulis surat aku beranjak dari tempat dudukku menuju
salah satu mailbox merah yang sudah
menjadi salah satu icon Inggris setelah phone
box ngejreng yang jgua berwarna merah. Aku cium suratnya dan aku selipkan
ke dalam lubang mailbox tersebut.
Semoga saja surat itu sampai ke rumah segera.
Tamat.
-----------------------------------------------------------
Ini bisa dibilang monumen kan?
Subscribe to:
Posts (Atom)